Mengurus pekarangan rumah selalu lebih rumit dibanding mempercantik ruang tengah. Selain sulit dijangkau, daya tarik pekarangan rumah juga tidak sepopuler ruang tengah. Tiada tuan rumah yang sudi menjamu tamunya di pekarangan. Itulah mengapa, rupa-rupa karya seni dan pajangan terbaik selalu diletakkan di ruang tengah, bukan di pekarangan.
Padahal, peran pekarangan rumah tidak bisa dipandang sebelah mata. Di mata petandang, ia laksana cermin yang merefleksikan kepribadian Sang Tuan Rumah. Jikalau banyak sampah dan kotoran, maka hasrat bertamu akan terancam buyar. Sebaliknya pun demikian. Tatkala ditanami beragam bunga yang indah dan cantik, mata siapa pula yang tidak akan melirik?
Hanya saja, mempercantik pekarangan rumah tidak bisa dilakukan secara sembarangan atau asal-asalan. Dibutuhkan tiga perkara, yakni kegigihan, keuletan, dan kesabaran. Apalagi ketika “rumah” itu bernama Indonesia—negara dengan “pekarangan rumah” terpanjang nomor dua di dunia setelah Kanada.
***
Sejak zaman penjajahan dulu, pembangunan Nusantara memang selalu dimulai dan difokuskan pada “ruang tengah” bernama pulau Jawa. Dengan bertumpu pada Batavia sebagai titik pusat pemerintahan dan ekonomi, Belanda membangun berbagai infrastruktur dasar yang diperlukan. Sebut saja pelabuhan, stasiun, ataupun bandar udara.
Diskursus ini kemudian berlanjut dan dipraktikkan pada awal masa kemerdekaan. Apalagi ketika memasuki masa Orde Baru, pembangunan bernuansa Jawa sentris menjadi sangat lekat dan dilakukan secara lebih masif. Cara ini terus berlangsung hingga awal periode reformasi.
Alhasil, buah pembangunan itu terhampar rata di sekujur pulau Jawa. Mulai dari gedung pencakar langit, jalan tol berkilo-kilometer, pusat perbelanjaan megah, hingga segudang fasilitas modern, dapat dengan mudah kita temui di pulau seluas 128,29 ribu km2 ini.
Seperti kata pepatah, di mana ada gula, di situ pasti ada semut. Penyebaran penduduk pun terkonsentrasi dari Ujung Kulon hingga Banyuwangi. Badan Pusat Statistik (2015) menyebutkan ada sekitar 145 juta jiwa penduduk, atau lebih dari setengah total jumlah penduduk Indonesia, yang bermukim di tanah Jawa.
Terpusatnya pembangunan di pulau Jawa, tentu membawa dampak bagi daerah lainnya. “Pekarangan rumah” berupa daerah perbatasan seringkali terabaikan. Buktinya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antara daerah tengah dan pinggiran menjadi sangat jomplang. Mari kita cermati grafik di bawah ini.
Nilai IPM daerah perbatasan seperti Papua (60,06), Papua Barat (63,74), Nusa Tenggara Timur (64,39), dan Sulawesi Barat (65,10) berada jauh di bawah nilai rata-rata IPM secara nasional (71,39). Dibandingkan dengan ibukota Jakarta (80,06), nilai IPM daerah perbatasan ibarat langit dan bumi. Jauh sekali!
Padahal, sumber kekayaan alam Indonesia sejatinya terletak di “pekarangan rumah”. Papua, misalnya. Daerah yang dulunya dikenal dengan nama Irian Jaya itu dianugerahi komoditas logam yang melimpah, lahan sawit yang subur, hingga deretan hutan hujan yang lebat. Sayangnya, berbagai kekayaan alam tadi belum bisa diejawantahkan dalam pembangunan yang mumpuni, baik dari sisi infrastruktur, fasilitas pendukung, maupun kualitas sumber daya manusia.
Bila kita mau belajar dari sejarah, peran daerah perbatasan sebenarnya sangat vital. Taruhannya juga tidak main-main, yakni kedaulatan bangsa. Sebagai contoh, mari kita tengok kisah sengketa pulau Sipadan dan Ligitan beberapa tahun silam.
Lanjut membaca.. https://www.nodiharahap.com/2019/05/memapas-senjang-di-tapal-batas.html